Rabu, 02 Agustus 2017

Short Story, Double Walker

Deskripsi Cerita


Sebuah peringatan tentang waktuku yang habis telah datang kepadaku. Sayangnya, bukan melalui sebuah surat, melainkan melalui "Aku".



Double Walker


“Baik Bu. Secepatnya akan saya kerjakan.”
Suara dari seberang seketika tidak terdengar. Panggilan itu dari editorku, Bu Sintya. Beliau menjelaskan tentang hasil dari revisi naskah komik yang aku kirimkan kepadanya seminggu yang lalu. Sesuai dengan dugaanku, si revisi naskah hadir kembali di hadapanku.
Aku menaruh hpku ke atas meja belajar yang kugunakan untuk menjawab telepon Bu Sintya yang berlangsung selama 1 jam. Kuambil revisi naskah yang terpampang di permukaan meja. Kukira menjadi seorang penulis naskah komik adalah hal terindah dan termudah di dunia ini. Nyatanya? Berbanding terbalik. Setiap hari yang berada di depan wajahku hanyalah bayangan revisi. Bukan hanya di depan wajah saja, bahkan di otakku pun si revisi ini dengan setia menemani.
“Arrgghh.... Aku tidak mengerti apa yang salah lagi dengan naskahku?!” Teriakku sambil menundukkan sejenak kepalaku ke wajah si meja belajar. Aku mengangkat kepalaku dan menengok ke arah jendela kamarku yang berada di sisi seberang kiri tidak jauh dari meja belajar. Terpampang pemandangan dengan latar belakang gelap dipadukan dengan pancaran sinar dari sang bulan purnama.
Seketika aku terdiam, ada seseorang di balik jendela kamarku. Aku berjalan dan mendekatkan wajahku ke sosok itu. Rambutnya panjang sebahu dengan sorot matanya yang tajam dan bulu mata yang lentik. Aku menatap matanya, dan dia membalas tatapanku. Sepertinya aku mengenal sosok itu. Ya, siapa lagi kalau bukan pantulan dari wajahku.
Aku menutup jendela kamarku dengan kordeng berwarna kuning. Tiba-tiba, otakku melahirkan ide untuk revisi naskah. Aku bergegas membuka laptop pemberian Ayahku. Dengan lincahnya, aku merombak ulang revisi naskah yang dikirimkan Bu Sintya. Kali ini, aku yakin naskah yang aku buat tidak akan direvisi lagi.

***

“Hmmm.... Menarik. Kali ini naskah komikmu patut untuk diterbitkan.” Kata Bu Sintya yang membuat diriku serasa ingin terbang dan melintasi cakrawala. Akhirnya, ucapanku di malam-malam yang lalu tidak sia-sia.
“Jujur, aku bosan dengan naskah yang berbau percintaan. Ya memang sih, naskahmu yang direvisi juga bagus. Tapi, aku lebih puas dengan naskahmu ini dan aku bangga padamu. Kamu mengerti dengan apa yang aku jelaskan di percakapan kita 2 minggu yang lalu. Seperti inilah penulis naskah yang didambakan Ciao.” Sahut Bu Sintya sambil tersenyum.
Seperti itulah peraturan tempat aku mengirim naskah komikku selama 1 taun belakangan ini. Editor di penerbitan ini sungguh teliti dan jeli dalam menyeleksi ataupun merevisi naskah-naskah yang dikirimkan para penulis. Mereka tidak menginginkan sebuah karya yang terkesan biasa saja, melainkan sebuah karya yang “out of the box.” Oleh karena itu, hasil karya dari Ciao selalu menjadi favorit bagi masyarakat.
 “Sesudah makan siang nanti, naskahmu akan kuserahkan ke Indra. Dia yang akan menggambar komik dari naskahmu. Aku harap kalian dapat bekerja sama dengan baik.”
Aku bersalaman dengan Bu Sintya dan keluar dari ruangan beliau. Sungguh, hari ini adalah hari terbaik yang pernah kumiliki. Tidak ada lagi naskah revisi dan partner kerjaku yang juga adalah teman dekatku. Aku jadi bisa bersantai untuk beberapa hari ke depan.
Bruuk!
Tiba-tiba, aku tidak sengaja menabrak seseorang. Aku terjatuh dan ia pun sama. “Ah... Maafkan aku. Aku tidak melihatmu. Kamu tidak apa-apa?” Tanyaku sambil berdiri dan menyodorkan tangan. Dia menggeleng dan menolak uluran tanganku. Ia bergegas pergi tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Aku merasa heran sambil memandang kepergian cewek itu. Pakaian yang ia kenakan dan bentuk badannya sama denganku. Aku spontan menggelengkan kepala. Cewek itu pasti hanyalah orang lain dengan pakaian yang mirip. Aku membuang jauh-jauh rasa penasaran ini dan bergegas pulang ke rumah untuk istirahat, diikuti oleh kepergian cewek itu.

***

“Gila, cerita lu kali ini keren! Begini dong seharusnya naskah komik, anti-mainstream. Ga hanya tentang cinta-cintaan terus. Semangat gua jadi semakin membara buat selesaiin beberapa halaman dari desain komiknya.” Kata Indra yang  membuatku refleks menjitak kepalanya karena terlalu berlebihan dalam memuji karyaku. Dia hanya meringis sambil tertawa karena ulahku.
Aku mengenal Indra saat Bu Sintya memperkenalkan para komikus di Ciao kepada para penulis baru. Aku dipasangkan untuk bekerja sama dengannya. Dia adalah orang yang jahil dan ramah. Saat pertama kali berkenalan dengannya, obrolan antara aku dan Indra tidak terasa canggung. Makanya, aku merasa senang bekerja sama dalam pembuatan komik dengannya.
“Gua udah lelah banget sama revisi. Bayangin Ndra, naskah gua sampai direvisi 3 kali. Bu Sintya juga ceramahin gua hampir 1 jam di telepon. Ya untungnya, gua dapat ide saat  melihat jendela kamar gua. Gua optimis dan percaya naskah cerita gua nggak akan direvisi lagi. Ternyata, memang benar.” Kataku bangga sambil menyeruput Iced Coffee yang kupesan di Cafetaria.
“Hahaha.... Ya itulah The Power of Ceramah dari Bu Sintya, sangat manjur sampai lu bisa dapat ide lagi setelahnya. Tapi, nanti gua tambahin lagi sedikit bumbu-bumbu horror dan misteri di cerita dan gambarannya di akhir cerita nih, biar kesannya lebih mantap lagi.” Kata Indra yang terlihat antusias mengerjakan beberapa halaman desain komiknya. Aku menjadi lebih yakin bahwa karyaku akan menjadi karya terbaik di dunia perkomikan di Indonesia.
Ketika aku dan Indra sedang serunya berbincang-bincang, ada seseorang yang meghampiri meja kami dan menepuk pundakku. “Wah... pada kumpul disini rupanya. Oh ya, gua mau balikin payung lu nih. Thanks banget ya. Untung kita ketemu. Kalau nggak, bisa basah gua ke sini.” Sapa Dilla sembari memberikan payung yang katanya aku pinjamkan.
“Kapan gua kasih ke lu ya? Gua daritadi standby di Penerbitan jam 8 pagi. Ketemu lu di jalan juga nggak. Tapi, payung ini mirip sama payung gua sih.” Kataku heran sambil memandang payung itu.
“Ah, tapi saat hujan deras tadi kita ketemu kok. Mana mungkin itu orang lain. Pakaiannya juga persis dengan yang lu pakai. Dan lu sendiri yang nawarin payung ke gua.” Aku semakin bingung dan menatap Indra. Indra pun tak kalah bingungnya.
“Begini saja deh,  kalau orang yang bertemu gua itu bukan lu, coba lu periksa tas lu. Ada payungnya nggak?” Tanya Dilla.
Aku langsung membuka tasku. Aku memang selalu membawa payung kapanpun dan dimanapun. Tetapi, aku hanya memakainya ketika kondisi cuaca sedang hujan. Aku mengecek semua isi di dalam tasku. Dan aku terkaget, payungku tidak ada disana. Padahal, aku sama sekali tidak mengeluarkan ataupun memegang payungku dari awal berangkat sampai di Cafetaria.
“Bagaimana bisa? Ini aneh.” Gumamku. Aku menjadi semakin merasa aneh dengan ini. Sungguh tidak logis saja jika Dilla saat jam 11 pagi berpapasan denganku, padahal aku sudah di kantor jam 8 pagi.
“Ndra, Dil, gua pulang dulu ya. Kepala gua agak pusing jadinya. Ditambah dengan kejadian ini. Oh ya Ndra, gua tunggu ya hasilnya, terutama bagian ending ceritanya. Nanti kirim lewat E-mail gua.” Kataku dan Indra mengiyakan permintaanku. Aku berpamitan dengan mereka. Kurasakan udara basah karena hujan menjadi udara dingin penuh misteri.

***

Aku baru pulang dari penerbitan dan tak kusadari matahari sudah lama terbenam. Beberapa hari belakangan, hujan semakin deras di malam hari. Walaupun aku memakai jaket, hawa yang dihasilkannya tetap menusuk kulitku. Aku bergegas menuju sebuah pohon besar di sebuah taman sambil berteduh dan menggunakan payungku. Hujan hari ini sungguh awet. Tetapi, rasa penasaran akan kejadian payung di hari-hari sebelumnya itu tidak kalah awetnya masih bersemayam di kepalaku.
“Ahh... Kejadian aneh itu semakin membuatku sakit kepala.” Pikirku sambil memegang kepalaku.
“Mungkin aku bisa jelaskan padamu.”
Aku langsung kaget  mendengar suara yang entah dari mana asalnya. Taman saat itu juga sedang sepi oleh pejalan kaki. Ditambah lagi kabut yang dihasilkan hujan, begitu pekat sampai aku tidak bisa melihat siapapun.
“Si-siapa itu?” Kataku dengan tergagap.
Tiba-tiba, aku melihat ada sosok yang mendekat ke arahku. Perlahan-lahan, aku dapat melihat rambutnya yang sebahu dengan tinggi badan yang sepantar denganku. Semakin lama, aku bisa melihat bentuk matanya. Bulu matanya lentik dan pandangannya tajam. Betapa terkejutnya aku setelah sosok itu berada beberapa senti dari tempat aku berdiri.
“Ti-tidak mungkin... Ba-bagaimana bisa a-aku...” Aku gemetar dan membuat diriku melangkah mundur dari sosok itu.
“Halo, kembaranku. Akhirnya kita bertemu juga.Sapanya sambil tersenyum dan membuatku semakin ketakutan.
“Tidak... Selama hidupku, aku tidak punya kembaran seperti dirimu. Aku adalah anak tertua di keluargaku!” Teriakku kepadanya.
“Ya, kita memang tidak kembar di dunia yang kamu diami sekarang. Tapi, aku adalah kamu, dari dimensi yang berbeda.”  Ia semakin mendekati diriku. “Oh ya, kamu pasti bertanya-tanya mengenai hal aneh yang dialami temanmu itu. Biar kujelaskan, orang yang saat itu menawarkan payung kepada temanmu adalah aku.”
Mendengar apa yang diucapkan dia membuat jantungku semakin berdegup kencang, ditambah wajahku yang semakin pucat. Tidak mungkin. Yang dikatakan sosok itu sangatlah aneh. Mengapa dia melakukannya?
“Kamu ingat 3 minggu yang lalu saat kau memandang jendela di malam hari? Kamu mendekati jendela itu dan memandangnya. Kamu pikir itu adalah pantulan wajahmu. Tapi, itu adalah aku. Kau  ingat 1 minggu yang lalu ketika kau berada di kantor? Kau menabrak seseorang saat itu. Kamu melihat kepergianku dan pikiranmu berkata dia hanya orang lain dengan pakaian yang sama denganmu. Padahal, sosok itu adalah aku.” Jelasnya dan membuat aku semakin tidak mengerti dengan semua hal yang ia katakan sekaligus sebabnya.
“Aku tidak mengerti. Untuk apa kamu melakukan itu semua?” Tanyaku sambil menatap matanya. “Karena aku adalah Doppelgaengermu.” Jawabnya. Aku benar-benar terkejut mendengarnya. “Do-doppelgaenger?”
“Ya, para Doppelgaenger memiliki tugas di bumi sebagai perantara dari Reaper untuk memberitahukan kembaran kami di sini bahwa waktu mereka sudah habis.”
“Tidak mungkin.... Kau berbohong!” Aku berteriak dan menatap matanya dengan tajam. “Yang kau katakan itu sungguh mustahil. Waktu sudah habis di bumi? Yang benar saja!” Amarahku meledak seketika dan aku melayangkan pukulan dari payungku ke arah dirinya.
“Hahahaha.... Aku suka amarahmu itu. Tapi, sayangnya aku berkata yang sebenarnya. Kau ingat setelah melihat jendela, kau langsung menulis ulang naskahmu itu? Apakah kau percaya jika itu bukanlah naskahmu, melainkan sebuah cerita tentang jalan hidupmu belakangan ini?” Ia tersenyum sinis, membuat diriku semakin mendidih.
“CUKUP! HENTIKAN OMONG KOSONGMU ITU!”
Aku melayangkan lagi pukulan dengan payung yang aku gunakan. Walaupun aku tau pukulan tersebut tidak berpengaruh apa-apa baginya. Ia tiba-tiba pergi dan kukejar dirinya secepat yang aku bisa. Aku sudah tidak peduli dengan hujan deras beserta kabut yang menghalangi pandanganku. Yang aku pikirkan adalah membuat dia menarik kembali omong kosong yang tidak masuk akal itu.
"JIKA NASKAH ITU ADALAH CERITA JALAN HIDUPKU, AKU TIDAK AKAN MATI! KARENA DI AKHIR CERITA HANYALAH PERTEMUAN SI KEMBAR DARI DUNIA YANG BERBEDA SAJA!" Teriakku dengan emosi yang semakin meluap.
Seketika, suasana menjadi gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku merasa semua yang berada di sekelilingku terhenti, termasuk juga diriku. Dan dia datang menghampiriku.
“Apakah kamu pernah berpikir tentang kupu-kupu?  Di duniamu, mereka dikenal sebagai sosok yang indah karena warna, corak, dan bentuk dari sayap mereka yang indah. Mereka terbang mencari sari-sari makanan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tapi, berbeda di duniaku. Kupu-kupu di duniaku adalah sosok yang paling menyeramkan. Mereka terbang untuk menebang pohon ketika daun yang terakhirnya telah jatuh.” Ia menghampiriku sambil menggerakan tangannya lurus ke depan. “Sayang sekali, akhir yang kau tuliskan, semuanya telah berubah dan berakhir sekarang.
Lalu, ia mendorong diriku dengan tiupan angin kencang dari tangannya. Membuat diriku yang terdiam menjadi bergeser dengan paksa. Seketika di belakang tubuhku, terdapat sosok manusia dengan sayap kupu-kupu berwarna hitam dengan corak yang indah. Perlahan-lahan, tubuhku bisa digerakan. Dan kulihat sebuah cahaya menyilaukan dengan suara klakson yang terdengar samar-samar datang menghampiri sisi kananku. Sayap dari sosok di belakangku membungkus diriku, mengarahkan sabitnya ke tubuhku.
“Tidak .... mungkin .....”

***

“Akhirnya selesai juga gambarnya.” Orang itu merapihkan dan mengecek kembali hasil gambarannya. “Si Rhea itu, padahal dia memiliki bakat menulis cerita yang bagus tetapi dia mengakhiri ceritanya dengan garing. Mana bisa cerita berkesan misteri dan sedikit horror hanya menggantung saat si tokoh utama bertemu dengan Dopplegangernya?” Orang itu pun menggelengkan kepalanya. “Rhea pasti akan terpesona saat tau endingnya, terlebih lagi adanya Reaper yang merangkul si tokoh utama dengan sayapnya, pertanda waktunya habis. Oh ya, gua tambahkan saja kalimat terakhir agar terkesan misteri dengan bumbu horror juga.” Orang itu pun menulis kembali sebuah kalimat di dalam naskah terakhir di halaman komiknya.
Daun terakhir itu akhirnya jatuh, dilanjutkan dengan tumbangnya sang pohon.


***

Short Story, Angel's Heart

Deskripsi Cerita


Seorang anti-sosial, pendiam, dan tidak percaya dengan apa artinya "Teman", itulah Alvin. Dia tidak percaya dengan kebaikan-kebaikan yang dibuat manusia-manusia lainnya. Manusia hanya mengambil keuntungan dari sesama manusia lainnya. Entah itu dengan memanfaatkan kebaikan ataupun menipu menggunakan emosi mereka. Itulah yang membuat Alvin tidak percaya dengan "Teman". Baginya, asalkan dia sendirian pun itu sudah cukup. Sayangnya, kehadiran sesosok gadis berhati malaikat berhasil mengubah pandangan Alvin mengenai "Teman".



Angel’s Heart


“Nak, ayo bangun! Sudah jam berapa ini? Nanti kamu terlambat!”
Suara teriakan mamaku yang berulang kali diucapkan membuat nyawaku kembali kepada pemiliknya. Sinar matahari menembus sela-sela yang tidak tertutupi tirai jendela kamarku. Samar-samar mulai kudengar suara deringan alarm yang ternyata sedari tadi berteriak membangunkanku. Aku pun terbangun dengan mata setengah menutup sambil mematikan alarm hpku. Sudah jam 6.30 pagi. Tinggal setengah jam lagi sekolah dimulai.
“Huufftt.... Sekolah lagi”
Aku ogah-ogahan beranjak dari kasur. Aku berjalan mengambil handuk yang digantung di gagang pintu kamarku dan segera mandi. Aku mengenakan seragam SMAku dipadukan dengan vest bercorak kotak-kotak dengan perpaduan warna biru muda dan biru tua. Tidak lupa aku mengenakan celana panjang berwarna hijau tua. Setelah itu aku menyiapkan buku pelajaran untuk hari ini dan memakai tas gendong hitamku sambil menghela napas. Satu lagi hari lainnya aku harus berurusan dengan yang namanya sekolah.
***

Aku sampai di depan gerbang pintu sekolah. Tepat pukul 7 pagi langkah kakiku mendarat di depan gerbang pintu sekolah. Syukurlah aku masih selamat dari yang namanya telat dan terhindar dari hukuman. Bisa rumit lagi urusannya jika aku berurusan dengan guru BK yang terkenal killer di sekolahku. Aku segera berlari menuju ruang kelasku.
***

Aku menghempaskan tubuhku di kursi yang terletak di pojok kanan belakang, berdekatan dengan deretan jendela-jendela yang memperlihatkan suasana lapangan sekolah yang terlihat agak sepi. Untungnya guru mata pelajaran Sejarah belum masuk ke dalam kelasku. Aku langsung mengeluarkan handphone beserta earphone, dan memutarkan beberapa lagu sambil menidurkan kepalaku di atas meja.
Aku merupakan siswa di SMA Kosgoro Bogor. Sekarang, aku sedang menempuh pendidikan sebagai siswa kelas XII-2 Jurusan IPS. Aku tidak seperti murid-murid lainnya yang saling berinteraksi satu sama lain. Aku adalah orang yang sangat jarang sekali bergaul karena aku lebih suka menikmati waktuku sendirian, tanpa kehadiran seorang pun.
“Alfin, bangun! Bu Ade sudah datang!”
Suara bisikan dengan nada lembut dan juga tepukan pelan di punggungku membangunkan diriku yang tengah terlelap. Aku mendongakkan kepala dan melihat Bu Ade sudah datang dan bersiap-siap untuk mengajar. Aku memasukkan handphone beserta kawannya dan mengeluarkan buku pelajaran sejarah tanpa menghiraukan keberadaan si pemilik suara yang membangunkanku tadi, dan sekaligus teman sebangkuku selama beberapa bulan kedepan.
***

Ting Tong Ting Tong
Suara bel istirahat berbunyi. Diriku yang sedari tadi mengantuk dengan penjelasan Bu Ade menjadi segar kembali. Istirahat adalah waktu yang aku sukai selama di sekolah karena aku dapat menikamati waktuku sendiri walau hanya setengah jam lamanya.
Saat aku tengah merapikan buku dan akan pergi keluar kelas, di sampingku sudah terdengar ocehan-ocehan dengan nada nyaring yang mengganggu telingaku. Ada yang mengeluh dengan pelajaran yang Bu Ade sampaikan dan ada juga yang ingin memulai gosip-gosip terhangat yang terjadi hari ini. Mereka adalah teman-teman dari si pemilik suara lembut yang membangunkanku tadi. Aku pun langsung bergegas pergi keluar kelas tanpa menghiraukan ataupun menyapa mereka. Tatapan bola mata mengikuti kepergianku dari kelas yang membosankan tersebut.
***

Sinar matahari semakin lama semakin panas dan menyengat. Lalu lalang murid-murid baik kelas X maupun kelas XII semakin banyak dan ramai. Aku mendengarkan lagu di Handphoneku sembari duduk,  menutup mata dan berteduh di bawah pohon rindang yang lebat berwarna hijau. Kubiarkan alunan nada-nada bergema di kepalaku, membiarkan suara petikan gitar akustik bermain di kepalaku. Sungguh hanya hal sekecil inilah yang membuatku menikmati sekolah, terlebih lagi di waktu istirahat. Menenangkan sekali.
Seketika kenikmatan itu hilang oleh suara nyaring yang berasal dari bangku yang berada di sisi lain di dekat pohon rindang itu.Tak sengaja kudengarkan sedikit obrolan-obralan dari suara yang mengganggu pikiranku itu.
“Fuuuh....Untung saja aku masih sempat membuat PR di kelas Bu Ade tadi. Dan yang paling penting untung ada dia. Aku jadi tidak perlu repot-repot mikir dalam menjawab soal-soal PR yang Bu Ade berikan.”
“Iya betul Ris. Ga rugi deh kita temenan sama dia.”
“Iya betul banget. Walaupun sebal juga sih liat orang yang sok pintar kayak dia. Apa-apa ada soal atau pertanyaan, dia terus yang jawab. Tapi ya, Kapan lagi coba punya temen yang bisa kita manfaatin kayak dia. Buktinya kita sekarang ga perlu tuh sibuk mikirin PR. Kan ada dia, tinggal salin udah deh beres. Eh iya, kita ke toilet yuk. Biasa mau dandan hehehe.” Dan suara-suara itu pergi menjauh.
“Haha....Teman. Bodoh sekali”. Aku tertawa kecil mendengarkan percakapan itu. Percakapan salah satu teman-teman si pemilik suara lembut itu. Di dalam kamusku, tidak ada yang namanya teman. Mereka semua palsu. Di dunia ini, tidak ada orang yang betul-betul baik kepada semua orang. Manusia hanya memanfaatkan keuntungan satu sama lain. Berpura-pura baik demi mendapatkan sebuah keuntungan, sungguh memalukan sekali.
Aku pun kembali menghabiskan waktu dengan mendengarkan lagu sambil menutup mata. Membiarkan angin menghembuskan napasnya dan menyentuh kulitku. Tiba-tiba sentuhan dingin di dahiku mengagetkanku dan membangunkanku. Sebuah minuman soda dingin berada tepat di dahiku. Kutengok siapa yang sudah berani menganggu waktuku.
“Yang namanya istirahat tuh makan dan minum, bukannya tidur selama istirahat selesai. Nih kubawakan soda, daritadi yang kulihat kerjaanmu tidur saja”. Lagi, dialah si pemilik suara lembut yang membangunkanku tadi pagi.
“Apa pedulimu denganku?”, kataku mengacuhkan soda yang dia tempelkan di dahiku.
Ia menaruh soda itu di bangku sekolah. “Hmmmm....Apa ya? Karena kita teman sebangku kan?”
“Hahaha....Kamu pikir aku mau dianggap teman denganmu? Kamu ini bodoh ya, di dunia ini tidak ada yang namanya teman. Dan kau tidak sadar manusia-manusia yang kamu anggap teman itu? Mereka hanya menipumu, memanfaatkanmu! Bodoh sekali, kau mau saja dimanfaatkan oleh mereka. Menjijikan.” Aku tertawa dengan  apa yang dia pikirkan terhadapku dan juga manusia yang dia anggap teman. Aku adalah temannya? Yang benar saja!
“Benarkah? Aneh sekali kamu berpikir seperti itu.” Ia pun tersenyum dan duduk di sebelahku. “Aku juga sudah tahu itu.”
Aku menghela napasku setelah mendengar jawaban dia dan meliriknya. “Jika kau sudah tahu manusia-manusia yang kau sebut ‘teman’ itu sudah membohongimu dengan berpura-pura baik dan berteman denganmu, kenapa kau tidak tinggalkan saja mereka?” Dia hanya terdiam dan menunduk setelah mendengar pertanyaanku.
Aku menyudahi lirikan mataku terhadapnya dan kembali memandang langit. “Sungguh, kau adalah manusia terbodoh yang pernah aku temukan. Terlebih lagi, manusia yang rela dirinya tersakiti oleh para manusia pemilik banyak muka, yang telah menginjak-injakkan semua usahamu terhadap mereka.”
Sesaat kemudian, suasana menjadi sepi dan hening. Tidak ada sepatah kata apapun yang terucap, entah itu dari mulutku atau mulutnya. Kami sibuk memfokuskan diri terhadap pandangan kami masing-masing. Beberapa saat setelahnya, dia mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk selama mendengarkan perkataanku.
“Mungkin kebaikanku telah disalahgunakan oleh mereka. Tetapi, itu terserah mereka dan itu urusan mereka. Yang aku pikirkan hanyalah aku tulus membantu mereka dan aku bersyukur jika apa yang aku lakukan dapat membuat mereka senang, entah itu asli atau hanya pura-pura saja.”
“Jika kau juga sudah tahu mereka salah dan berpura-pura tidak tahu terhadap kesalahan yang telah mereka perbuat, sama saja kau seperti mereka. Kau dan mereka sama-sama menggunakan topeng di muka kalian untuk mendapatkan keuntungan masing-masing. Tidakkah itu hal yang sangat bodoh?” kataku sembari menggelengkan kepala.
Dia pun balas memandangku. “Aku tidaklah sama dengan mereka, seperti yang kamu pikirkan tadi.” Perlahan, dapat kulihat senyumannya yang mulai tersimpul di bibirnya. “Muka memang bisa kita tutupi menggunakan topeng, entah itu perasaan gembira yang di dalamnya terselubung perasaan benci ataupun sebaliknya. Tapi, apakah ketulusan yang benar-benar berasal dari dalam hati kita, dapat kita tutupi oleh topeng tersebut?”
Aku pun semakin tidak mengerti terhadap ucapannya yang semakin terdengar tidak logis. “Tetap saja sama. Ketulusan kau dan juga orang-orang itu hanyalah untuk keuntungan semata. Apakah kau tidak juga paham?” kataku.
Dia hanya tertawa melihatku yang semakin tidak mau mengalah dengan argumennya. “Vin, jika ketulusanku ini menggunakan topeng, apakah sedari tadi aku menusuk mereka dengan menjelekkan mereka bersama dengan yang lainnya? Begitu pun sebaliknya, jika ketulusan mereka tidak menggunakan topeng, apakah sedari tadi mereka tidak menusuk diriku dengan menjelekkanku bersama yang lainnya ketika aku tidak bersama mereka?”
Aku pun tertegun mendengarkan perkataannya. Seketika aku mengingat percakapan teman-temannya yang menjelekkan dirinya sebelum dia datang menghampiriku. Perlahan, aku mulai memahami argumennya tentang kebaikan dan ketulusan yang sebenarnya.
“Aku membutuhkan teman-temanku, untuk mendengarkan ceritaku dan mereka juga menyemangatiku, walaupun itu palsu atau tidak. Begitu pun juga sebaliknya nanti. Jika mereka belum menyadari kesalahan yang mereka lakukan dengan mengguna-gunakan ketulusan seseorang, bukankah itu adalah tugas kita sebagai ‘teman’ untuk menyadarkan mereka dengan melakukan kebaikan terhadap mereka dan perlahan mengajarkan mereka untuk memahami makna ketulusan yang seseorang lakukan untuk mereka?” tanyanya sambil memandangku. “Semua ini karena manusia tidak bisa hidup sendirian dan juga saling membutuhkan satu sama lain untuk sama-sama menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Bukankah itu gunanya teman, Vin?”
Aku pun kaget dengan penjelasannya. Semua ucapan yang ia katakan mengingatkanku dengan sebuah kalimat berbahasa Latin yang tak sengaja aku temukan di internet, Non nobis solum nati sumus. Kita tidak dilahirkan untuk diri kita sendirian saja. Semua manusia saling membutuhkan. Manusia tidak bisa hidup dan pasti akan membutuhkan pertolongan dengan sesama manusia lainnya. Memang benar, itulah hakikat dari teman, manusia yang kita butuhkan dan juga yang membutuhkan kita di dalam kehidupan ini. Tak kusangka seseorang yang tau kebaikannya hanya dimanfaatkan, berkata seperti itu.
“Eh, lu Alvin kan?”, sebuah suara cowok membangunkan pikiranku yang sedari tadi memikirkan apa yang diucapkan si cewek bersuara lembut tadi.
“Sorry gua ganggu lu. Nama gua Agung, sekelas juga sama lu. Lu denger ga tadi Bu Ade bagi tugas kelompok buat minggu depan? Kebetulan nih kita sekelompok. Kita kerjain bareng-bareng ya! Ummm… dan kebetulan gua juga udah lama mau temenan juga sama lu, akhirnya terkabul juga, hehehe,” katanya sambil merangkul diriku. Aku sontak kaget dengan perlakuan Agung. Kulihat juga si pemilik suara lembut tertawa pelan sambil tersenyum.
Teman. Untuk pertama kalinya, Aku merasakan rangkulan dari seorang teman. Untuk pertama kalinya, seseorang tidak sungkan untuk berteman denganku. Untuk pertama kalinya, seseorang membutuhkanku. Dan aku hanya mengangguk untuk merespon Agung, membuat dirinya merasa senang dengan responku.
 “Kalian lucu deh. Kayak adik kakak saja”, pekiknya. “Oh iya, Aku harus ke ruang guru untuk bertemu Bu Ade.” Si cewek itu menghampiriku dan berbisik, “Jadikan ini awal untuk memiliki teman-teman lainnya ya, Vin.” Ia pun  menepuk pundakku, lalu tersenyum manis dan pergi meninggalkanku.
Aku menatap kepergian si cewek itu. Aku paham dengan pemikiran dia. Mungkin sudah saatnya aku tidak menutup diri dengan lingkungan sekitarku dan membuka kehadiran orang-orang disekitarku. Ternyata memang benar, tidak ada manusia yang tidak membutuhkan manusia lainnya.
Aku mengambil minuman soda yang dia bawakan untukku dan pergi bersama Agung untuk mengerjakan tugas Sejarah dari Bu Ade. Aku menengokkan kepalaku kebelakang, melihat punggung wanita yang menyadarkanku tentang arti teman. Ia semakin lama semakin menjauh. Hembusan angin mengibaskan rambut sepunggungnya yang terurai, menari-nari dengan indah. Seorang gadis paling membingungkan, sekaligus seorang gadis dengan hati bagaikan sebuah berlian yang pernah aku lihat. Samar-samar kulihat sebuah sayap putih berada di punggungnya. Dan aku mulai tersenyum.
“Terima kasih, Trisha Aurelia Griselda.
***





Senin, 26 Desember 2016

The Directors and Members' Roles in Theatre

      In theatre, the directors have some main duties. The directors have a job to decide the theme and make the manuscript for the play. They decide the members who will role the characters in the play. They also discuss some elements such as stage, costume, and things that support the play with the members who have a responsibility in those elements. After the manuscript and the elements had already decided, the directors control and manage the members in their practice until few days before the performance held. Not only the directors, but also the members have some duties in theatre.
        The members of theatre also have some duties. Their duties are designated by the directors. First, some members have a job to be the characters in manuscript. They have to practice and learn their role in the manuscript. Second, there are also some members who have a responsibility to manage the elements in theatre. Commonly, they are divided into some groups such as costume group, stage arrangement group, music group, and property group. Beside those jobs, all members have some duties to find donation and share the theatre performance information to people by using social medias and sharing the poster. With the cooperation of the directors and the members' role, the theatre can improve well and the performance become more successful.