Deskripsi Cerita
Sebuah peringatan tentang waktuku yang habis telah datang kepadaku. Sayangnya, bukan melalui sebuah surat, melainkan melalui "Aku".
Double Walker
“Baik
Bu. Secepatnya akan saya kerjakan.”
Suara
dari seberang seketika tidak terdengar. Panggilan itu dari editorku, Bu Sintya.
Beliau menjelaskan tentang hasil dari revisi naskah komik yang aku kirimkan
kepadanya seminggu yang lalu. Sesuai dengan dugaanku, si revisi naskah hadir
kembali di hadapanku.
Aku
menaruh hpku ke atas meja belajar yang kugunakan untuk menjawab telepon Bu
Sintya yang berlangsung selama 1 jam. Kuambil revisi naskah yang terpampang di
permukaan meja. Kukira menjadi seorang penulis naskah komik adalah hal terindah
dan termudah di dunia ini. Nyatanya? Berbanding terbalik. Setiap hari yang
berada di depan wajahku hanyalah
bayangan revisi. Bukan hanya di depan wajah saja, bahkan di otakku pun si
revisi ini dengan setia menemani.
“Arrgghh....
Aku tidak mengerti apa yang salah lagi dengan naskahku?!” Teriakku sambil menundukkan
sejenak kepalaku ke wajah si meja belajar. Aku mengangkat kepalaku dan menengok
ke arah jendela kamarku yang berada di sisi seberang kiri tidak jauh dari meja
belajar. Terpampang pemandangan dengan latar belakang gelap dipadukan dengan
pancaran sinar dari sang bulan purnama.
Seketika
aku terdiam, ada seseorang di balik jendela kamarku. Aku berjalan dan
mendekatkan wajahku ke sosok itu. Rambutnya panjang sebahu dengan sorot matanya
yang tajam dan bulu mata yang lentik. Aku menatap
matanya, dan dia membalas tatapanku. Sepertinya aku mengenal sosok itu. Ya,
siapa lagi kalau bukan pantulan dari wajahku.
Aku
menutup jendela kamarku
dengan kordeng berwarna kuning. Tiba-tiba, otakku melahirkan ide untuk revisi naskah. Aku
bergegas membuka laptop pemberian Ayahku. Dengan lincahnya, aku merombak ulang
revisi naskah yang dikirimkan Bu Sintya. Kali ini, aku yakin naskah yang aku
buat tidak akan direvisi lagi.
***
“Hmmm....
Menarik. Kali ini naskah komikmu patut untuk diterbitkan.” Kata Bu Sintya yang
membuat diriku serasa ingin terbang dan melintasi cakrawala. Akhirnya, ucapanku di malam-malam yang lalu tidak sia-sia.
“Jujur,
aku bosan
dengan naskah yang berbau percintaan. Ya memang sih, naskahmu yang direvisi juga
bagus. Tapi, aku lebih puas dengan naskahmu ini dan aku bangga padamu. Kamu
mengerti dengan apa yang aku jelaskan di percakapan kita 2 minggu yang lalu.
Seperti inilah penulis naskah yang didambakan Ciao.” Sahut Bu Sintya sambil
tersenyum.
Seperti
itulah peraturan tempat aku mengirim naskah komikku selama 1 taun belakangan
ini. Editor di penerbitan ini sungguh teliti dan jeli dalam menyeleksi ataupun
merevisi naskah-naskah yang dikirimkan para penulis. Mereka tidak menginginkan
sebuah karya yang terkesan biasa saja, melainkan sebuah karya yang “out of the box.” Oleh karena itu, hasil
karya dari Ciao selalu menjadi favorit bagi masyarakat.
“Sesudah makan siang nanti, naskahmu akan
kuserahkan ke Indra. Dia yang akan menggambar komik dari naskahmu. Aku harap
kalian dapat bekerja sama dengan baik.”
Aku
bersalaman dengan Bu Sintya dan keluar dari ruangan beliau. Sungguh, hari ini
adalah hari terbaik yang pernah kumiliki. Tidak ada lagi naskah revisi dan
partner kerjaku yang juga adalah teman dekatku. Aku jadi bisa bersantai untuk
beberapa hari ke depan.
Bruuk!
Tiba-tiba,
aku tidak sengaja menabrak seseorang. Aku terjatuh dan ia pun sama. “Ah...
Maafkan aku. Aku tidak melihatmu. Kamu tidak apa-apa?” Tanyaku sambil berdiri
dan menyodorkan tangan. Dia menggeleng dan menolak uluran tanganku. Ia bergegas
pergi tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Aku merasa heran sambil memandang
kepergian cewek itu. Pakaian yang ia kenakan dan bentuk badannya sama denganku.
Aku spontan menggelengkan kepala. Cewek itu pasti hanyalah orang lain dengan
pakaian yang mirip. Aku membuang jauh-jauh rasa
penasaran ini
dan bergegas pulang ke rumah untuk istirahat, diikuti oleh kepergian cewek itu.
***
“Gila,
cerita lu kali ini keren! Begini dong seharusnya naskah komik, anti-mainstream.
Ga hanya tentang cinta-cintaan terus. Semangat gua jadi semakin membara buat selesaiin
beberapa halaman dari desain komiknya.” Kata Indra yang membuatku refleks menjitak kepalanya karena
terlalu berlebihan dalam memuji karyaku. Dia hanya meringis sambil tertawa
karena ulahku.
Aku
mengenal Indra saat Bu Sintya memperkenalkan para komikus di Ciao kepada para
penulis baru. Aku dipasangkan untuk bekerja sama dengannya. Dia adalah orang
yang jahil dan ramah.
Saat pertama kali berkenalan dengannya, obrolan antara aku dan Indra tidak
terasa canggung. Makanya, aku merasa senang bekerja sama dalam pembuatan komik
dengannya.
“Gua
udah lelah
banget sama revisi.
Bayangin Ndra, naskah gua sampai direvisi 3 kali. Bu Sintya juga ceramahin gua
hampir 1 jam di telepon. Ya untungnya, gua dapat ide saat melihat jendela kamar gua. Gua optimis dan
percaya naskah cerita gua nggak akan direvisi lagi. Ternyata, memang benar.”
Kataku bangga sambil menyeruput Iced Coffee yang kupesan di Cafetaria.
“Hahaha....
Ya itulah The Power of Ceramah dari Bu Sintya, sangat manjur sampai lu bisa
dapat ide lagi setelahnya. Tapi, nanti gua tambahin lagi sedikit bumbu-bumbu horror dan misteri di cerita dan gambarannya di akhir cerita nih, biar kesannya lebih mantap lagi.” Kata Indra yang terlihat antusias
mengerjakan beberapa halaman desain komiknya. Aku menjadi lebih yakin bahwa karyaku
akan menjadi karya terbaik di dunia perkomikan di Indonesia.
Ketika
aku dan Indra sedang serunya berbincang-bincang, ada seseorang yang meghampiri
meja kami dan menepuk pundakku. “Wah... pada kumpul disini rupanya. Oh ya, gua
mau balikin payung lu nih. Thanks banget ya. Untung kita ketemu. Kalau nggak,
bisa basah gua ke sini.” Sapa Dilla sembari memberikan payung yang katanya aku
pinjamkan.
“Kapan
gua kasih ke lu ya? Gua daritadi standby di Penerbitan jam 8 pagi. Ketemu lu di
jalan juga nggak. Tapi, payung ini mirip sama payung gua sih.” Kataku heran
sambil memandang payung itu.
“Ah,
tapi saat hujan deras tadi kita ketemu kok. Mana mungkin itu orang lain.
Pakaiannya juga persis dengan yang lu pakai. Dan lu sendiri yang nawarin payung
ke gua.” Aku semakin bingung dan menatap Indra. Indra pun tak kalah bingungnya.
“Begini
saja deh, kalau orang yang bertemu gua
itu bukan lu, coba lu periksa tas lu. Ada payungnya nggak?” Tanya Dilla.
Aku
langsung membuka tasku. Aku memang selalu membawa payung kapanpun dan
dimanapun. Tetapi, aku hanya memakainya ketika kondisi cuaca sedang hujan. Aku
mengecek semua isi di dalam tasku. Dan aku terkaget, payungku tidak ada disana.
Padahal, aku sama sekali tidak mengeluarkan ataupun memegang payungku dari awal
berangkat sampai di Cafetaria.
“Bagaimana
bisa? Ini aneh.” Gumamku. Aku menjadi semakin merasa aneh dengan ini. Sungguh
tidak logis saja jika Dilla saat jam 11 pagi berpapasan denganku, padahal aku
sudah di kantor jam 8 pagi.
“Ndra,
Dil, gua pulang dulu ya. Kepala gua agak pusing jadinya. Ditambah dengan
kejadian ini. Oh ya Ndra, gua tunggu ya hasilnya, terutama bagian ending ceritanya. Nanti kirim lewat E-mail gua.”
Kataku dan Indra mengiyakan permintaanku. Aku berpamitan dengan mereka. Kurasakan
udara basah karena hujan menjadi udara dingin penuh misteri.
***
Aku baru pulang dari penerbitan dan tak kusadari matahari sudah lama terbenam. Beberapa hari belakangan, hujan
semakin deras di malam hari. Walaupun aku memakai jaket, hawa yang dihasilkannya
tetap menusuk kulitku. Aku bergegas menuju sebuah pohon besar di sebuah taman sambil berteduh dan menggunakan payungku. Hujan hari ini sungguh awet. Tetapi, rasa penasaran akan
kejadian payung di hari-hari sebelumnya itu tidak kalah awetnya masih bersemayam di kepalaku.
“Ahh...
Kejadian aneh itu semakin membuatku sakit kepala.” Pikirku sambil memegang
kepalaku.
“Mungkin
aku bisa jelaskan padamu.”
Aku
langsung kaget mendengar suara yang
entah dari mana asalnya. Taman saat itu juga sedang sepi oleh pejalan kaki.
Ditambah lagi kabut yang dihasilkan hujan, begitu pekat sampai aku tidak bisa
melihat siapapun.
“Si-siapa
itu?” Kataku dengan tergagap.
Tiba-tiba,
aku melihat ada sosok yang mendekat ke arahku. Perlahan-lahan, aku dapat
melihat rambutnya yang sebahu dengan tinggi badan yang sepantar denganku.
Semakin lama, aku bisa melihat bentuk matanya. Bulu matanya lentik dan
pandangannya tajam. Betapa terkejutnya aku setelah sosok itu berada beberapa
senti dari tempat aku berdiri.
“Ti-tidak
mungkin... Ba-bagaimana bisa a-aku...” Aku gemetar dan membuat diriku melangkah
mundur dari sosok itu.
“Halo,
kembaranku. Akhirnya kita bertemu juga.”
Sapanya sambil tersenyum
dan membuatku semakin ketakutan.
“Tidak...
Selama hidupku, aku tidak punya kembaran seperti dirimu. Aku adalah anak tertua
di keluargaku!” Teriakku kepadanya.
“Ya,
kita memang tidak kembar di dunia yang kamu diami sekarang. Tapi, aku adalah
kamu, dari dimensi yang berbeda.” Ia semakin mendekati diriku. “Oh ya, kamu
pasti bertanya-tanya mengenai hal aneh yang dialami temanmu itu. Biar
kujelaskan, orang yang saat itu menawarkan payung kepada temanmu adalah aku.”
Mendengar
apa yang diucapkan dia membuat jantungku semakin berdegup kencang, ditambah wajahku
yang semakin pucat. Tidak mungkin. Yang dikatakan sosok itu sangatlah aneh.
Mengapa dia melakukannya?
“Kamu ingat 3 minggu yang
lalu saat kau memandang jendela di malam hari? Kamu mendekati jendela itu dan
memandangnya. Kamu pikir itu adalah pantulan wajahmu. Tapi, itu adalah aku. Kau ingat 1 minggu yang lalu ketika kau berada di kantor? Kau
menabrak seseorang saat itu. Kamu melihat kepergianku dan pikiranmu berkata dia
hanya orang lain dengan pakaian yang sama denganmu. Padahal, sosok itu adalah
aku.” Jelasnya dan membuat aku semakin tidak mengerti dengan semua hal yang ia
katakan sekaligus sebabnya.
“Aku
tidak mengerti. Untuk apa kamu melakukan itu semua?” Tanyaku sambil menatap
matanya. “Karena aku adalah Doppelgaengermu.” Jawabnya. Aku benar-benar
terkejut mendengarnya. “Do-doppelgaenger?”
“Ya,
para Doppelgaenger memiliki tugas di bumi sebagai perantara dari Reaper untuk
memberitahukan kembaran kami di sini bahwa waktu mereka sudah habis.”
“Tidak
mungkin.... Kau berbohong!” Aku berteriak dan menatap matanya dengan tajam.
“Yang kau katakan itu sungguh mustahil. Waktu sudah habis di bumi? Yang benar
saja!” Amarahku meledak
seketika dan aku melayangkan
pukulan dari payungku ke arah dirinya.
“Hahahaha....
Aku suka amarahmu itu. Tapi, sayangnya aku berkata yang sebenarnya. Kau ingat
setelah melihat jendela, kau
langsung
menulis ulang naskahmu itu? Apakah kau percaya jika itu bukanlah naskahmu,
melainkan sebuah cerita tentang jalan hidupmu belakangan ini?” Ia tersenyum sinis, membuat diriku
semakin mendidih.
“CUKUP!
HENTIKAN OMONG KOSONGMU ITU!”
Aku
melayangkan lagi pukulan dengan payung yang aku gunakan. Walaupun aku tau
pukulan tersebut
tidak berpengaruh apa-apa baginya. Ia tiba-tiba pergi dan kukejar dirinya
secepat yang aku bisa. Aku sudah tidak peduli dengan hujan deras beserta kabut
yang menghalangi pandanganku. Yang aku pikirkan adalah membuat dia menarik
kembali omong kosong yang tidak masuk akal itu.
"JIKA NASKAH ITU ADALAH CERITA JALAN HIDUPKU, AKU TIDAK AKAN MATI! KARENA DI AKHIR CERITA HANYALAH PERTEMUAN SI KEMBAR DARI DUNIA YANG BERBEDA SAJA!" Teriakku dengan emosi yang semakin meluap.
Seketika,
suasana menjadi gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku merasa semua yang
berada di sekelilingku terhenti, termasuk juga diriku. Dan dia datang
menghampiriku.
“Apakah
kamu pernah berpikir tentang kupu-kupu?
Di duniamu, mereka dikenal sebagai sosok yang indah karena warna, corak,
dan bentuk dari sayap mereka yang indah. Mereka terbang mencari sari-sari
makanan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tapi, berbeda di duniaku. Kupu-kupu di
duniaku adalah sosok yang paling
menyeramkan. Mereka terbang untuk menebang pohon ketika daun yang terakhirnya telah jatuh.” Ia
menghampiriku sambil menggerakan tangannya lurus ke depan. “Sayang sekali, akhir yang kau tuliskan, semuanya telah berubah dan berakhir sekarang.”
Lalu,
ia mendorong diriku dengan tiupan angin kencang dari tangannya. Membuat diriku
yang terdiam menjadi bergeser dengan paksa. Seketika di belakang tubuhku,
terdapat sosok manusia dengan sayap kupu-kupu berwarna hitam dengan corak yang
indah. Perlahan-lahan, tubuhku bisa digerakan. Dan kulihat sebuah cahaya
menyilaukan dengan suara klakson yang
terdengar samar-samar datang menghampiri sisi kananku. Sayap
dari sosok di belakangku membungkus diriku, mengarahkan sabitnya ke tubuhku.
“Tidak
.... mungkin .....”
***
“Akhirnya selesai juga gambarnya.” Orang itu
merapihkan dan mengecek kembali hasil gambarannya. “Si Rhea itu, padahal dia
memiliki bakat menulis cerita yang bagus tetapi dia mengakhiri ceritanya dengan
garing. Mana bisa cerita berkesan misteri dan sedikit horror hanya menggantung
saat si tokoh utama bertemu dengan Dopplegangernya?” Orang itu pun
menggelengkan kepalanya. “Rhea pasti akan terpesona saat tau endingnya,
terlebih lagi adanya Reaper yang merangkul si tokoh utama dengan sayapnya,
pertanda waktunya habis. Oh ya, gua tambahkan saja kalimat terakhir agar
terkesan misteri dengan bumbu horror juga.” Orang itu pun menulis kembali
sebuah kalimat di dalam naskah terakhir di halaman komiknya.
Daun
terakhir itu akhirnya jatuh, dilanjutkan dengan tumbangnya sang pohon.
***